Minggu, 29 Maret 2009

Kontroversi Pengesahan UU BHP

Kontroversi Pengesahan UU BHP

Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 telah ditegaskan bahwa salah satu tujuan nasional dari bangsa kita adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan merupakan sarana efektif guna meningkatkan kecerdasan warga Negara dalam menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kesejahteraan umat manusia. Oleh karena itu pendidikan memiliki peran sangat penting untuk membangun peradaban bangsa sebesar Indonesia.

Agar bangsa ini mampu bersaing dalam percaturan global dan mencapai kemandirian di masa yang mendatang, pemerintah melakukan reformasi pengelolaan pendidikan. Beberapa waktu yang lalu tanggal 17 Desember 2008 setelah sekian lama terjadi pembahasan akhirnya Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) disahkan dalam sidang paripurna DPR dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar. Peristiwa tersebut tentunya memberikan sejarah baru dalam ”percobaan” format pendidikan di Indonesia.

Pengesahan RUU BHP mendapat respon yang luar biasa, terutama dari kalangan mahasiswa di berbagai penjuru kampus di Indonesia. Mahasiswa menilai pengesahan RUU BHP merupakan upaya komersialisasi pendidikan yang nantinya akan memberatkan pembiayaan sehingga mengubur semangat untuk maju pada sebagian besar masyarakat terutama kelas ekonomi menengah ke bawah. Karena masyarakat ekonomi menengah ke bawah dirasa tidak bisa mengenyam pendidikan jika terlalu mahal. Hal lain yang menjadi pertimbangan adalah klausul dalam UU BHP tentang pembubaran Badan Hukum Pendidikan jika badan tersebut jatuh pailit. Hal ini berarti pengeloaan pendidikan disamakan dengan pengelolaan perusahaan pencari laba. Berdasarkan alasan tersebut dinilai UU BHP akan membawa efek negatif dalam sejarah pendidikan Indonesia.

Beberapa waktu yang lalu saat pembahasan UU BHP yang dilakukan rekan-rekan mahasiswa, setidaknya ada 3 draft yang ada, yaitu yang mempunyai 35 pasal, 58 pasal dan 69 pasal. Lalu manakah yang benar? Ataukah justru tidak ada satupun diantara ketiganya yang benar (UU telah disahkan). Secara sederhana akan muncul pertanyaan spontan. ”Dimana transparasi wakil rakyat terhadap rakyatnya?”. Kalau hasil putusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak tersebut tidak secara terbuka dipublikasikan.

Tentunya alibi ”belum dilakukan penomoran UU” tidak bisa begitu saja ditolerir. Kalau anggota DPR mengatakan bahwa gelombang protes adalah karena pemrotes (mahasiswa) belum memahami semangat UU BHP. Lalu bagaimana bisa bersemangat jika putusan tersebut tidak jelas redaksi dan prespek positifnya. Disatu sisi, kesalahan wakil rakyat adalah tidak adanya sosialisasi yang massif pembentukan UU BHP, bahkan terkesan menutupi sejak UU Sisdiknas sebagai UU yang mengamanatkan adanya UU BHP ini diwujudkan.

Ini suara mahasiswa, maka hanya berharap pendidikan di Indonesia tidak dijadikan komoditi, apalagi oleh asing. Semoga yang namanya wakil rakyat bukan hanya sekedar kumpulan budak bayaran tapi advokat bagi kebaikan seluruh rakyat. Tetap jaya pendidikan di Indonesia, semoga menjadi lebih baik.

Oleh : Tri Rahmawati

Sumber : berbagai referensi

1 komentar:

  1. subhanallah ukhti luar biasa tulisannya ana geleng gelang membacanya

    BalasHapus